Selasa, 17 Februari 2009

Resume tentang HUKUM PIDANA

1. Pengertian Hukum Pidana

Tidak ada penjelasan resmi tentang pengertian hukum pidana, karena itu untuk mengetahui apa itu hukum pidana, kita perlu menelusuri pendapat para sarjana. Tentu saja tidak ada definisi yang sempurna tentang ‘hukum pidana’, tetapi walaupun begitu menurut Mezger pada pokoknya hukum pidana itu berpokok pada 2 (dua) hal yaitu:
1. Perbuatan yang memenuhi syarat tertentu.
2. Pidana.

W.L.G. Lemaire memberi definisi sebagai berikut: Hukum pidana itu terdiri dari norma – norma yang berisi keharusan – keharusan dan larangan – larangan yang oleh pembentuk Undang – Undang telah di kaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman (pidana) yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus.
Rumusan W.L.G. Lemaire ini hanya mencakup hukum pidana materiil saja, padahal kita ketahui bahwa hukum pidana itu mencakup, baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil atau yang biasa di sebut hukum acara pidana.

Menurut Mezger, hukum pidana adalah hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat – syarat tertentu yang menimbulkan akibat berupa pidana. Jadi menurutnya, pada dasarnya hukum pidana berpokok pada dua hal, yaitu pertama perbuatan yang memenuhi syarat tertentu dan kedua adanya pidana.

Van Hamel yang diikuti oleh Van Hattum memberi rumusan hukum pidana positif dengan menyatakan bahwa hokum pidana adalah kesluruhan dasar dan aturan yang dibuat oleh Negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum , dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa (penderitaan kepada yang melanggar larangan tersebut. Menurut Lamintang defenisi yang diberikan Van Hamel tersebut kurang lengkap, sebab hokum pidana positif (Strafrecht in objective zin) itu bukan hanya keseluruhan asas-asas dan peraturan-peraturan yang berkenaan dengan penentuan sanksi-sanksi dengan norma-norma saja, melainkan juga berkenaan dengan penentuan syrat-syarat bagi akibat hukumnya suatu pelanggaran norma dan berkenaan pula dengan ketentuan-ketentuan mengenai perjatuhan dan pelaksanaan hukumnya sendiri. (Lamintang, 1984:3).

Menurut Prof. Simons, hokum pidana itu dapat dibagi dengan dua pengertian, yaitu Hukum pidana dalam arti objektif (Strafrecht in objective zin) dan hokum pidana dalam arti subjektif (Strafrecht in subjective zin). (Sudarto 1990 : 9). Hukum pidana dalam arti objektif adalah hokum pidana yang berlaku yang disebut juga hokum pidana positif atau ius poenale, yang dirumuskan oleh prof simons sebagai berikut : “Hukum pidana adalah keseluruhan larangan dan keharusan yang atas penyelanggaraannya oleh Negara atau oleh masyarakat hokum umumnya telah dikaitkan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa suatu hukuman (pidana), dan keseluruhan peraturan yang syarat-syarat mengenai akibat hukumnya telah diatur, serta keseluruhan peraturan yang mengatur masalah penjatuhan dan pelaksanaan hukumnya sendiri”. Pengertian hokum pidana dari Simons tersebut mengandung unsure-unsur :
- Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam dengan nestapa, yaitu suatu pidana, bila tidak ditaati.
- Keseluran peraturan yang menentukan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana.
- Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan hukuman (pidana).
Sedangkan hokum pidana dalam arti subjektif yang disebut juga “ius puniendi” mempunyai dua pengertian, dapat diartikan secara luas dan sempit Ius puniendi dalam arti luasadalah hak dari Negara dan alat-alat perlengkapannya untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu. Dalam arti sempit Ius puniendi diartikan sebagai suatu hak untuk menuntut pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-badan peradilan, ius puniendi ini harus berdasar pada ius poenale, artinya hak untuk menghukum oleh Negara diperoleh dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hokum pidana dalam arti objektif (hokum pidana positif). (Sudarto, 1990 : 10).

Prof. Moelyatno memberikan pengertian hokum pidana seperti berikut : “Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hokum yang berlaku dari suatu Negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut
2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menetukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. (Moelyatno, 1978 : 1)

2. Hubungan Ilmu Hukum Pidana Dengan Ilmu-Ilmu Lainnya

Objek dari ilmu hukum pidana adalah hukum pidana. Hukum pidana itu memuat dua hal yaitu: 1) Syarat-syarat untuk memungkinkan penjatuhan pidana, dan 2) Pidana. Bila di rinci lagi, maka dapat di katakan bahwa dalam pidana ada tiga pokok persoalan, yaitu pertama tentang perbuatan yang di larang, kedua tentang orang yang melanggar larangan tersebut, dan ketiga tentang pidana yang di ancamkan kepada si pelanggar.
Tujuan Ilmu Hukum Pidana adalah mengkaji pengertian objektif dari hukum pidana positif. Pengkajian ini melalui tiga tahapan, yaitu: interpretasi, konstruksi dan sistematik. Dengan interprestasi bertujuan untuk mengetahui pengertian objektif dari apa yang tertera dalam aturan-aturan hokum tersebut dapat berlaku mengikuti perkembangan masyarakat, karena pengertian objektif mungkin berbeda dengan pengertian subjektif dari pejabat pembuat undang-undang ketika membuat aturan-aturan hokum tersebut. Konstruksi yuridis adalah bentukan yuridis yang terdiri atas bagian-bagian atau unsure-unsur yang tertentu. Pengkajian konstruksi yuridis ini bertujuan agar supaya apa yang teretera dalam bentukan itu merupakan pengertian yang jelas dan terang, misalnya mengkaji rumusan yang delik. Sistematik artinya mengadakan atau menyusun system dalam suatu bagian hokum pada khususnya atau seluruh bidang hokum pada umumnya. Maksud diadakan system ialah agar supaya peraturan yang banyak dan beraneka ragam itu tidak lagi merupakan hal yang ruwet dan menakutkan atau membahayakan, tetapi merupakan suatu hal yang teratur dan baik serta bermamfaat bagi masyarakat.


3. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana

1. Fungsi Hukum Pidana

Fungsi hokum pidana dapat dibedakan dalam fungsinya yang umum dan fungsinya yang khusus. Fungsi yang umum dari hokum pidana itu sama dengan fungsi hokum pada umumnya, ialah untuk mengatur kehidupan kemasyarakatan atau secara lebih sederhana dapat dikatakan untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Sedangkan fungsi yang khusus dari hokum pidana adalah melindungi kepentingan hokum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya dengan sanksi berupa pidana. Maka dapat dikatakan bahwa fungsi hokum pidana itu memberi aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat, sebagi alat control social, fungsi hokum pidana adalah subsider, artinya hokum pidana baru digunakan apabila usaha lainnya kurang memadai. ( Sudarto, 1990 : 13)
Utrecht mengatakan bahwa hokum pidana merupakan hokum sanksi istimewa (bizonder sanctierecht). Hokum pidana memberi suatu sanksi istimewa atas baik pelanggaran kaedah hokum privat maupun atas pelanggaran hukum publik yang telah ada.

2. Tujuan Hukum Pidana
Usaha menghilangkan kesewenang-wenangan dalam memperoleh keadilan kemudian dipercepat dengan adanya ajaran “trias politica” dari Montequieu (1689-1775) dan “du Contract Social” dari J.J.Rousseu (1712-1778). Gerakan ini menghendaki :
1. Agar diadakan suatu peraturan yang tertulis, supaya setiap orang mengetahui perbuatan mana yang dilarang atau tidak, serta apa ancaman hukumannya, dan sebagainya, serta terjamin hak-hak manusia dan kepentingan perorangannya.
2. Adanya kepastian hokum sehingga terhindar dari kesewenang-wenangan penguasa.
3. Tujuan hokum pidana adalah untuk menjamin atau melindungi kepentingan individu. (Kanter dan Sianturi !982 : 55).

Ajaran tersebut digolongkan dalam “Mahzab kalsik” (classicke school) yang dalam perkembangannya memberikan asas-asas dasar hokum pidana, yaitu :
1. Harus ada suatu rumusan undang-undang yang tegas tentang perbuatan pidana, tentang pidana, dan tentang peradilan pidana (asas legalitas).
2. Pidana yang dijatuhkan haruslah sama bagi setiap orang dari tingkat masyarakat maupun si terhukumberasal (asas kesamaan = equality before the law).
3. pidana haruslah sejauh mungkin bersifat sedang, dan berat ringannya pidana haruslah sebanding dengan berat ringannya kejahatan (asas subsidiaritas dan asas proporsionalitas).
4. pidana hanya dapat dikenakan pada si pelaku / si terhukum sendiri saja (asas personalitas).
5. acara pidana haruslah bersifat publik (tentu saja sejauh hal ini dapat disatukan dengan kepentingan umum), keputusan hakim haruslah diucapkan dimuka umum dengan memuat alas an-alasan atau dasar-dasarnya dan menunjuk keadaan undang-undang yang diterapkan (asas publisitas).
6. peradilan pidana sejauh mungkin harus merupakan suatu peradilan juri/majelis.
7. setiap terdakwa/tertuduh berhak untuk didampingi oleh seorang penasehat hukum.

4. Norma, Sanksi dan Sifat Hukum Pidana

1. Norma
Dalam mempelajari hokum, kita berhadapan dengan anggapan-anggapan yang memberi petunjuk bagaimana seseorang harus berbuat atau tidak berbuat. Anggapan-anggapan ini lazim disebut norma atau kaidah (Sudarto 1990 : 2) yang oleh Prof.Djojodiguno disebut “ugeran”. Istilah “normative” mengandung arti adanya unsur apa yang harus (seharusnya apa yang diharapkan). Dibelakang norma ini terdapat nilai yang sifatnya lebih abstrak, nilai inilah yang merupakan dasar bagi norma.

2. Sanksi
Pada umumnya sanksi adalah alat pemaksa adar seseorang menaati norma-norma yang berlaku. Perbedaan yang sangat menonjol antara sanksi terhadap norma hokum dengan sanksi terhadap norma lainnya ialah bahwa sanksi terhadap pelanggaran normahukum diseahkan atau dapat diserahkan kepada penguasa. Sedangkan sanksi terhadap pelanggaran norma lainnya tidak diserahkan kepada penguasa. Sanksi terhadap pelanggaran norma hokum berupa hukuman yang dapat langsung / segera dapat dirasakan oleh pelanggar, sedangkan sanksi terhadap pelanggaran norma lainnya belum dapat dirasakannya.

3. Sifat Hukum Pidana
Apakah hokum pidana termasuk hokum publik? Bagias terbesar sarjana hokum melihat hokum pidana sebagai hokum publik yang mempunyai cirri-ciri :
1. Mengatur hubungan antara kepentingan Negara atau masyarkat dengan kepentingan perseorangan.
2. Kedudukan penguasa Negara lebih tinggi dari orang perorangan, dengan kata lain orang perseorangan disubordinasikan kepada penguasa.
3. Penuntutan seseorang yang telah melakukan tindak pidana (perbuatan yang dilarang) tidak tergantung orang perseorang yang dirugikan, tetapi pada kepentingan Negara/umum dan Negara melalui alat perlengkapannya wajib menunutut orang tersebut.
4. Hak subyektif Negara terdapat pada alat (aparat) / perlengkapan Negara ditimbulkan oleh peraturan dalam hokum pidana obyektif atau hukm pidana positif`(Kanter dan Sianturi, 1982 : 22 – 23).

5. Sumber Hukum Pidana Indonesia
Sumber utama hokum pidana Indonesia adalah hokum tertulis. Induk peraturan hokum pidana Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang biasa disingkat KUHP. Disamping KUHP, sumber hokum pidana tertulis dapat pula kita jumpai pada peraturan-peraturan hokum pidana diluar KUHP, yaitu peraturan-peraturan hokum pidana yang tidak dikodifikasikan, yang tersebar dalam UU atau peraturan-peraturan baik dari pemerintah pusat maupun daerah.
Sumber hokum pidana yang kedua adalah hokum pidana adatialah hokum pidana yang tak tertulis yang masih hidup dalm masyarakat. Hokum pidana adapt ini untuk beberapa daerah masih harus menjadi pertimbangan dalm penyelesaian maslah.



6. Jenis-jenis Hukum Pidana

1. Hukum Pidana tertulis Dan Hukum Pidana tidak tertulis

Dilihat dari segi bentuknya, hokum pidana dapat dibedakan antara hokum pidana tertulis dan hokum pidana tidak tertulis. Ketentuan dalam Ps.1 KUHP menunjukkan asas yang dianut yaitu asas legalitas, asas ini menyatakan, “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, suatu norma hokum pidana (dalam hal ini mengenai tindak pidana) dan sanksi hokum pidana harus sudah ada terlebih dahulu dalam suatu perundang-undangan sebelum perbuatan pidana dilakukan.

2. Hukum Pidana Obyektif dan Hukum Pidana Subyektif
Apabila dilihat dari sudut hak penguasa untuk membuat garis-garis hokum, maka dapat dibedakan antara hokum pidana obyektif dan hokum pidana subyektif yang biasa disebut “ius poenali” ialah keseluruha peraturan (garis hokum) mengenai tingkah laku manusia yang diancam dengan pidana, mengenai jenis dan macam pidana, dan mengenai bagaimana cara pidana itu dapat dijatuhkan dan dilaksanakan pada waktu tertentu dan dalam batas-batas daerah hokum tertentu, artinya semua warga Negara dan daerah hokum tersebut wajib mentaati peraturan hokum pidana tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan hokum pidana subyektif yang sering disebut dengan “ius puniendi” adalah hak dari Negara atau alat perlengkapan Negara untuk mengancamkan atau mengenakan suatu pidana terhadap perbuatan tertentu sebagaimana telah digariskan dalam hokum pidana obyektif, untuk mengadakan penyidikan, menjatuhkan pidana dan mewajibkan terpidana melaksanakan pidana yang dijatuhkan.

3. Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil
Dilihat dari segi isinya, hokum pidana dapat dibedakan antar hokum pidana materiil dan hokum pidana formil. Hukum Pidana materiil memuat aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan ketentuan mengenai pidana yang dapat dijatuhkan. Dengan kata lain, hokum pidana materiil berbicara masalah norma dan sanksi hokum pidana serta ketentuan-ketentuan umum yang membatasi, memperluas atau menjelaskan norma dan pidana tersebut.
Hokum pidana formil disebut juga hokum acar pidana, yaitu seluruh garis hokum yang menjadi dasar atu pedoman bagi penegak hokum dan keadilan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hokum pidana materiil, atu dengan dingkat dikatakan bahwa hokum pidana formil mengatur tentang bagaimana Negara dengan alat-alat perlengkapannya melakukan kewajiban untuk menyidik, menuntut menjatuhkan dan melaksanakan pidana. Dihubungkan dengan pembedaan hokum pidana obyektif dan hokum pidana subyektif, maka hokum pidana materiil dan hokum pidana formil kedua-duanya termasuk kedalam hokum pidana dalam arti obyektif.

4. Hukum Pidana Terkodifikasi dan Hukum Pidana Tak Terkodifikasi
Hukum pidana yang telah terkodifikasi ialah hokum pidana yang telah dikumpulkan dan dibukukan dalam satu buku secara menyeluruh, sistematis, tuntas dan berdasar atas ilmu pengetahuan (hokum pidana). Jadi kodifikasi itu haruslah menagtur secar menyeluruh, tuntas, berdasar ilmu pengetahuan dan disususn secar sistematis dalam satu buku. Contoh : KUHP, KUHPT.
Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan ialah hokum pidana yang diatur diluar KUHP, tersebar dalam berbagi undang-undang dan peraturan lain.

5. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
Hukum pidana umum memuat aturan-aturan hokum pidana yang berlaku bagi setiap orang, misalnya KUHP. Sedangkan hukum pidana khusus memuat aturan aturan hokum pidana yang menyimpang dari hokum pidana umum, kkekhususan itu dapat mengenai golongan tertentu atau berkenaan dengan jenis perbuatan teretntu, ada kalanya kekhususan itu terletak pada acaranya.

6. Hukum Pidana Nasional dan Hukum Pidana Lokal
Berdasarkan wilaya berikutnya, dapat dibedakan antar hokum pidana pidana umum (nasional) ialah hokum pidana yang berlaku untuk seluruh wilayah Negara dan dibentuk oleh pembentuk UU pemerintah Pusat. Hukum pidana local dibentuk oleh pembentuk UU daerah tingkat I atau tingkat II dan berlaku hanya di wilayah yang bersangkutan. Peraturan hokum pidana yang dibuat oleh pembentuk UU daerah tingkat I atau tingkat II sangat terbatas. Maksimum ancaman pidananya tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi.

7. Hukum Pidana Nasional dan Hukum Pidana Internasional
Berdasarkan wilayah berrlakunya hokum pidana dapat pula dibedakan antara hokum pidana internasional. Hokum pidana nasional berlaku diseluruh wilayah Negara termasuk kapal atau pesawat terbang yang berbendera Indonesia, bagi seluruh penduduk (baik WNI maupun WNA) dan bagi seluruh warga Negara (baik di dalam negeri maupun di luar negeri). Sedangkan hokum pidana internasional melalui perjanjian-perjanjian internasional dan dapat dilaksanakan oleh pengadilan internasional. Contoh : teroridme, narkotika, penerbangan, kejahatan perang. ( Kanter dan Sianturi 1982 : 17 – 22 ; Sudarto 1990 : 10 – 11

Tidak ada komentar: